Langsung ke konten utama

BELENGGU KULTURAL PADA PEREMPUAN


Perspektif patriarki dalam menilai perempuan

Dapur, sumur dan kasur siklus yang sudah melekat pada kebiasaan masyarakat tentang tugas dan batasan seorang perempuan. Budaya dan pikir pandang warga Indonesia yang berakar dari tradisi dan budaya suku-suku peninggalan terdahulu, budaya yang membiasakan menempatkan laki-laki pada hierarki teratas dan perempuan berada di bawahnya. Dalam konteks kesetaraan keduanya berhak mendapatkan keistimewaan yang sama dan hanya memiliki perbedaan secara biologis, terdapat perbedaan dari organ reproduksi dan ciri lain pada kontruksi tubuh, namun dalam realitas budaya patriarki keseimbangan hak tersebut tidak terlaksana karena perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap seperti halnya pernyataan yang menyatakan jika “dibalik laki-laki yang sukses ada perempuan hebat dibelakangnya”, kata “belakang” disini jelas menggambarkan fungsi dan peran perempuan dalam kiprah kesuksesan laki-laki hanya sebagai penyokong dan pelengkap bukan dianggap sebagai sosok yang mampu ditempatkan di sisi kanan atau kiri yang memiliki peran sama dalam memutuskan ide-ide dan gagasan, yang artinya peran perempuan hanya mampu ditempatkan di rumah sebagai istri, ibu dan menantu.

Dunia ibu, dunia perempuan, adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening di tengah hingar-bingar keramaian dan kekacauan hidup, dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan. (Maria Hartiningsih, Kompas 12 Juni 2011).

Dalam perspektif patriarki seorang perempuan selalu di kaitkan dengan segala aktivitas domestik dan dianggap kurang memiliki kapasitas dalam dunia publik. Kegiatan dari bangun tidur hingga kembali tidur lagi selalu diisi dengan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan lain sebagainya. Perempuan yang lihai melaksanakan pekerjaan rumah tangga menjadi point utama yang wajib di kuasai sebagai perempuan terlebih ketika sudah memasuki usia dewasa yang kelak akan menyandang status sebagai seorang istri dan ibu. Tak hanya itu jika diantara perempuan ada yang tidak bisa melakukan hanya salah satu dari sekian banyak pekerjaan rumah tangga akan mendapatkan cibiran dari lingkungan sekitar. Lalu bagaimana dengan seorang laki-laki yang katanya labih kuat dari segi fisik dibandingkan laki-laki tidak akan ada yang mencibir jika salah satu dari mereka misal tidak bisa benerin genteng atau menambal ban bocor sendiri.

Perjalanan perempuan dalam membebaskan diri

Jika kita mengenal sosok perempuan pertama yang dinikahi Rasulullah Saw ialah Sayyidah Khadijah binti Khuwallid adalah bukti dari kaum wanita terdahulu  yang cukup berdaya dalam dunia bisnis dan kepemimpinan ditengah-tengah praktik perbudakan perempuan yang di lakukan oleh pemimpin-pemimpin jahiliah pada masa itu. Bukti jika perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya pada ciri biologis tidak pada kecerdasan dan kebijakan. Seorang perempuan yang lahir dari bani Quraisy yang memiliki kecerdasan dalam mengatur keuangan dan memutuskan strategi bisnis hingga menjadi pengusaha yang hebat serta memberdayakan banyak orang termasuk Rasulullah Saw yang pada masa itu menjadi salah satu orang yang dipercaya oleh Sayyidah Khadijah untuk menjadi kafilah dagang lintas daerah.

Jika menilik perjuangan feminisme di Indonesia maka kita mengenal sosok perempuan cerdas dan berani dari tanah jawa yakni Nyai Siti Walidah istri dari KH Ahmad Dahlan pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Pada masa berdirinya Muhammadiyah Nyai Siti Walidah bersama suaminya berperan dalam pergerakan dakwah ditengah-tengah masyarakat yang belum mengetahui syari’at Islam sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an. Beliau perannya sebagai salah satu tokoh perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam segi ilmu pengetahuan dalam gerakannya beliau mengusahakan pendidikan dengan mengadakan perkumpulan pengajian yanh dinekal dengan nama Wal Asri dan sekali-kali beliau menggantikan peran suaminya dalam menyampaikan pengajian tersebut.

Selain itu Siti Walidah bersama dengan perkumpulan buruh-buruh wanita, ibu-ibu rumah tangga dan remaja-remaja putri yang sudah dirangkulnya dalam sebuah perkumpulan mendirikan sekolah khusus perempuan yang diberi nama Sopo Tresno dibawah naungan bendera Muhammadiyah pada tahun 1917. Dari sinilah awal mula berdirinya organisasi perempuan islam yang menjadi bagian dari Muhammadiyah yakni ‘Aisyiyah, organisasi yang mempelopori dan memberdayakan perempuan-perempuan yang tertindas haknya untuk menuntut ilmu dan berkembang diluar tugasnya sebagai pekerja domestik. Tapi perjalanan seorang perempuan pada masa itu tidaklah mudah melawan budaya patriarki adalah yang terberat, banyak diwarnai perseteruan dengan pihak suami dan ayah yang bersikeras jika belajar dan sekolah bukan hak dan kewajiban perempuan.

Suburnya praktik budaya patriarki di masyarakat menjadi sebab beratnya kaum perempuan memperoleh kedudukan istimewa dikalangan publik yang tidak adik gender.

Pada tahun 2015 ada sebanyak 1469 lembaga ormas/LSM yang berkontribusi terhadap permasalahan perempuan yang muncul dari kalangan aktivis mahasiswa, akademisi, agamawan yang ikut dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Komitmen perempuan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak pemerintah mendukung suksesi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di Indonesia (KemNeg PP dan BPS, 2006). Perjuangan gerakan perempuan telah dilakukan melalui Kongres Perempuan pertama yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928,  sekaligus sebagai upaya konsolidasi berbagai organisasi perempuan di Indonesia. Saat ini, jenis gerakan perempuan semakin berkembang dan semakin terbuka wawasannya dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan.

Budaya Patriarki tidak ada dalam Islam

Isu ketidakseimbangan hak gender sering dikaitkan dengan norma-norma dalam agama, karena banyak yang terpaku dengan pendapat dari penafsiran QS. An Nisa:34 “karena Dia (Allah) telah melebihikan laki-laki atas mereka perempuan”. Menurut Mawlana Utsmani Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan memimpin sebuah negara.

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgahsana yang besar.” (QS. An Naml:23)

Perempuan yang dimaksud dalam firman Allah tersebut ialah Ratu Balqis yang memimpin kaum Saba. Dalam kepemimpinan Ratu Balqis kaum Saba mendapatkan kemakmuran dan ketentraman. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa keistimewaan yang dimiliki seorang pemimpin ketika dia meliki kapasitas dan kapabilitas. Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.

Selain dalam Al-Quran, isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga telah diformalkan di Indonesia salah satunya pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Akhirnya, selain dari sisi hukum, praktik mengenai cara membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender perlu digalakkan.

Akses kesetaraan. Apakah sudah adil?

Dewasa ini peran dan andil perempuan diranah publik mulai memperlihatkan keberadaannya baik diranah agama, sosial ekonomi dan politik. Namun keadilan tersebut belum berada pada titik yang diharapkan, kesenjangan ini masih dijumpai pada segi penempatan perempuan masih menjadi kaum yang termarjinalkan dari hak kepemimpinan. Perempuan masih dianggap memiliki kemampuan dibawah laki-laki sehingga tidak dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik.

Sebaik apapun kesetaraan hak bagi perempuan diranah publik jika dirinya telah kembali berada ditengah-tengah keluarganya maka kodrat patriarki akan kembali membebaninya. Sekarang ribuan perempuan telah banyak yang menjadi pemimpin, pengusaha, investor dan lain sebagainya namun masih terbebani dengan pekerjaan ganda yang menuntut perempuan harus serba bisa, selesai hari dalam menaklukkan dunia saatnya pulang berganti baju dan menyelesaikan pekerjaan domestik. Beban tersebut tidak ditimpahkan kepada laki-laki setelah bekerja, dan itu suatu hal yang umum dikalangan masyarakat justru akan menjadi tabu dan bahan cibiran jika perempuan yang hanya melakukan satu pekerjaan diluar rumah tanpa memikirkan pekerjaan rumah tangga. Tapi tetap salah juga jika hanya menjadi rumah tangga tapi tidak punya pekerjaan yang menghasilkan uang.

Penilaian masyarakat dan orang terdekat yang awam kesetaraan masih menjadi racun berbahaya bagi perempuan yang ingin mendapatkan hak nya sebagai manusia yang merdeka. Perspektif orang banyak kerap melebeli perempuan sebagai makhluk yang terbatas namun serba dituntut, tidak perlu diberikan dispensasi apabila apresiasi. Harus memiliki karakter yang siap dipatahkan ketika sedang berusaha untuk tumbuh.

Sebagai perempuan yang berada ditengah peradaban yang sadar dan berdaya harus mengambil peran untuk saling merangkul dan memperjuangkan integritas masing-masing agar dapat mencapai kedudukan yang pantas dan menjadi unsur penting dalam kehidupan masyarakat tanpa ada yang terbebani.

Oleh: Evi Oktaviani, S.Pd (Ketua Departemen Kerjasama & Kehumasan)

Gambar: bincangmuslimah.com

Editor: Nadiya

Komentar