Langsung ke konten utama

EKOFEMINISME; SITUASI PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN

 


Istilah ekofeminisme secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebuah paham tentang keterkaitan perempuan dan lingkungan, terutama dalam ketidakberdayaan dan ketidakadilan perlakuan kepada keduanya. Gerakan ini lahir sebagai bentuk jawaban dari kebutuhan dasar untuk menyelamatkan bumi dengan berdasarkan pada kekhasan kalangan perempuan yang selama ini dianggap kompeten atau mampu mengelola lingkungan hidup dan seisinya yang menjadi sumber kehidupan.

Melalui gerakan ekofeminisme ini, hubungan perempuan dan lingkungan hidup banyak disuarakan. Di mana inti dari gerakan ini adalah untuk menegaskan bahwa dalam kehidupan manusia, posisi perempuan dan lingkungan tidak dipandang sebagai properti sebagaimana sistem patriarki memandang perempuan dan lingkungan.

Saras Dewi, salah seorang dosen Filsafat di Universitas Indonesia pernah menjelaskan bahwa ekofeminisme merupakan renungan bahwa dominasi serta diskriminasi yang dialami baik oleh lingkungan hidup maupun perempuan, bersumber dari problem yang sama yakni, budaya patriarki. Sehingga perjuangan untuk bumi sejatinya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis.

Dalam tulisan Diskursus Teori tentang Perempuan, Sartika Itaning memaparkan bahwa dalam fenomena kerusakan alam, perempuan menjadi objek yang merasakan dampak kerusakan tersebut. Akan tetapi, pengalaman perempuan tidak selalu didengar. Pun, perempuan dihadapkan dengan situasi yang sulit untuk ikut serta dalam mengambil kebijakan atau keputusan ditengan problematika lingkungan. Hal ini yang kemudian seharusnya mampu mendorong perempuan, selain perempuan mengambil peran untuk melawan perusak lingkungan, perempuan seharusnya juga mampu mengambil peran sebagai agen perubahan yang memproklamasikan hubungan yang harmonis antara perempuan dan alam.

Lantas, bagaimana peran perempuan dalam mengupayakan kelestarian lingkungan hidup? 

Dalam taraf yang sederhana, perempuan memiliki keleluasaan untuk memilih keputusan yang meminimalisir risiko pada perusakan lingkungan, contohnya pengurangan pembalut plastik. Beberapa pendapat para feminis juga menegaskan bahwa perubahan ini bisa ditempuh secara politis, diperjuangkan melalui transformasi budaya yang mengarah pada keadilan ekologis atau keberlanjutan, juga transformasi politik yang meninggalkan pandangan lama mengenai politik, khususnya yang memisahkan antara manusia dan alam.

Oleh: Renci, S.Pd (Ketua Departemen Lingkungan)

Gambar: umy.ac.id

Editor: Nadiya

Komentar