اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ
عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ
اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ
بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ
وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” Qs. An
Nisa Ayat 34
Pandangan Islam Terhadap Perempuan
Benarkah Islam diskriminatif terhadap perempuan? Untuk menjawab pertanyaan ini, layak kiranya mencermati bagaimana pandangan kalangan fundamentalisme rasionalis dan fundamentalisme religius terhadap teks-teks yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan.
Fundamentalisme rasional dan fundamental religius menyakini bahwa visi Alquran adalah keadilan.[1] Namun demikian, paradigma yang digunakan dalam memahami keadilan tidak sama sehingga konseptualisasi dan konklusi yang ditawarkan juga berbeda. Bagi kaum rasionalis keadilan adalah kesetaraan, sementara kaum religius melihat keadilan dalam perbedaan. Dalam memahami teks-teks yang dianggap dikriminatif, kaum rasionalis lebih berorientasi pada illat hukum atau hikmah tasyri` dengan menggunakan pendekatan ta`aqquli (rasional). Di lain pihak kaum religious berpegang pada zahir nash dengan bertumpu pada pendekatan ta`abbudi (emosional).[2]
Perempuan
dalam pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat terhormat.
Pandangan Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender. Islam memang kadang
berbicara tentang perempuan sebagai perempuan (misalnya dalam soal haid,
mengandung, melahirkan dan kewajiban menyusui) dan kadang pula berbicara
sebagai manusia tanpa dibedakan dari kaum laki-laki (misalnya dalam hal
kewajiban shalat, zakat, haji, berakhlaq mulia, amar makruf nahi mungkar, makan
dan minum yang halal dan sebagainya). Kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan
mengarahkan perempuan secara individual sebagai manusia mulia dan secara
kolektif, bersama dengan kaum laki-laki, menjadi bagian dari tatanan (keluarga
dan masyarakat) yang harmonis. Ketika
Islam mewajibkan istri meminta izin pada suami bila hendak keluar rumah atau
puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami tidak wajib meminta
izin pada istri; juga ketika Islam menetapkan hak waris dan persaksian
perempuan separuh laki- laki, kewajiban perempuan memakai jilbab atau ketika
menetapkan tugas utama istri sebagai umm (ibu) dan rabbatul bait (pengatur
rumah tangga), dan hak talak pada suami, sesungguhnya Islam tengah berbicara
tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi, orang perorang laki-laki atau
perempuan, serta kehendak untuk mengaturnya agar tercipta tatanan yang harmonis
tadi.
Tuduhan
bahwa penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dan kewajiban berjilbab
adalah bias laki-laki, hanya benar bila itu dipandang per-individu perempuan,
bukan sebagai suatu mekanisme rasional yang harus ditempuh bila kita
menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat di mana hubungan antara
laki-laki dan perempuan saling menunjang serta upaya penataan hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam masayrakat agar etika pergaulan terjaga. Keluarga
harmonis dan bahagia, serta masyarakat yang mulia, bukankah itu yang diidamkan
oleh setiap manusia? Sehingga tidaklah tepat bila dikatakan bahwa
kewajiban-kewajiban seperti itu male bias (sangat maskulin) dan mereduksi peran
perempuan sebagai manusia. Kita akan gagal memahami kehendak Islam dalam
masalah ini bila kacamata pandang kita terhadap persoalan eksistensi manusia
(laki-laki dan perempuan) di dunia ini tidak diubah.
Sementara,
ketika Islam berbicara tentang wajibnya wanita berdakwah, mendidik umat, di
bidang politik menjadi anggota majelis syuro umpamanya, dan untuk itu ia harus
keluar rumah, maka Islam tengah berbicara tentang masyarakat dan peran wanita
dalam membentuk masyarakat yang baik. Tapi di luar dua hal di atas, Islam sama
sekali tidak menghilangkan keberadaan wanita sebagai individu. Ia dibolehkan
untuk menuntut ilmu, berpendapat, bekerja, mengembangkan hartanya, memimpin
sendiri usahanya dan sebagainya. Jadi, tuduhan terdapat bias gender dalam
ajaran Islam sangatlah tidak beralasan.
Persamaan
gender yang banyak didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk
ke tubuh kaum muslimah umat ini. Mereka telah tertipu dengan pemikiran kaum
barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor pemikiran tersebut. Lantas bagaimana
sebenarnya peranan wanita islam dalam membangun keluarga atau masyarakat?
Peranan Wanita
Dalam Rumah Tangga
Keluarga
merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul
pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit
yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam
hal tersebut adalah kaum wanita.[3]
Peran dan tugas perempuan dalam keluarga secara garis besar dapat
dibagi menjadi peran perempuan sebagai ibu, ibu sebagai istri, dan anggota
masyarakat.[4] Agar dapat melakukan peran
atau tugasnya dengan baik, maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan
tujuan dari peran itu dan harus menguasai cara atau teknik memainkan perannya.
Sebagai ibu, pendidik anak-anak, perempuan harus mengetahui porsi yang tepat
dalam memenuhi kebutuhan anaknya, yang disesuaikan dengan tahap
perkembangannya. Sikap maupun perilakunya harus dapat dijadikan contoh bagi
anak-anaknya. Sebagai seorang istri, perempuan harus menumbuhkan suasana yang
harmonis, tampil bersih, memikat dan mampu mendorong suami untuk hal-hal yang
positif. Sebagai anggota masyarakat, perempuan diharapkan dapat berperan serta
dalam masyarakat. Keberhasilan dalam melakukan peran di atas, tentunya bukan
hal yang mudah, namun yang penting dari hal tersebut adalah kemauan dan usaha
untuk selalu belajar untuk meningkatkan peranan-peranan yang dijalankannya.
Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang paling besar
perannya bagi kesejahteraan sosial dan
kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya. Keluarga merupakan
lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan pribadi
anak dan merupakan wadah tempat bimbingan dan latihan anak sejak kehidupan
mereka yang sangat muda sehingga dapat menempuh kehidupannya dengan baik kelak.
Keberhasilan
pendidikan anak-anak merupakan tanggung jawab Ibu walaupun tentunya
keikut-sertaan Bapak tidak dapat diabaikan. Ibu memainkan peran yang penting
dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita. Pendidikan di sini
tidak hanya dalam pengertian yang sempit. Pendidikan dalam keluarga dapat
berarti luas berupa pendidikan iman, moral, fisik/jasmani, intelektual,
psikologis, sosial, dan pendidikan seksual.
Penutup
Islam menegaskan bahwa laki-laki adalah pelindung bagi kaum perempuan. Laki-laki dan perempuan diberikan Allah swt kelebihan dan kekhususan untuk saling melengkapi. Keunggulan fisik laki-laki dan organ reproduksi perempuan seyogyanya tidak dipahami sebagai kelebihan ataupun kekurangan, tetapi keduanya harus diarahkan untuk menjalankan fungsinya secara proporsional. Dari aspek kemanusiaan dan potensial yang dimiliki antara laki- laki dan perempuan secara konseptual, tidak ada perbedaan antara keduanya. Sejak awal penciptaan, perempuan menduduki posisi sama dengan laki-laki. Ketika Allah memerintahkan sesuatu kepada laki-laki, maka hal itu juga berlaku untuk perempuan. Sebaliknya ketika Allah memerintahkan sesuatu kepada perempuan, maka hal itupun berlaku pada laki-laki. Penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dipandang bias laki-laki, hanya benar bila itu dipandang per-individu perempuan, bukan sebagai suatu mekanisme rasional yang harus ditempuh bila kita menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan saling menunjang demi terwujudnya keluarga harmonis dan bahagia serta upaya penataan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat agar etika pergaulan terjaga demi terwujudnya masyarakat yang mulia.
Gandes Dwi Lestari, M.Pd.I (Ketua Bidang Dakwah PWNA Lampung)
Referensi:
[1] Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis: Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 65
[2] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 123.
[3] https://muslim.or.id/9142-peranan-wanita-dalam-islam.html
[4] Sofia Retnowati Noor, Tinjauan Psikologis Peran Perempuan dalam Keluarga Islami, (artikel non publikasi; 2009), h. 2
Gambar: https://pngtree.com
Editor: Nadiya
Komentar
Posting Komentar