Langsung ke konten utama

PEREMPUAN DALAM KETERKUNGKUNGAN STIGMA PERAN PUBLIK

 

Napak tilas perempuan sampai hari ini masih dalam posisi berjuang. Mengapa dikatakan berjuang, karena perempuan terus meraih dan mempertahankan stigma yang telah menjadi adat dan kebudayaan khususnya di Indonesia. Bahwa perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas, faktor tersebut dikarenakan perempuan memiliki tugas yang multifungsi, selain secara jenis kelamin perempuan dianggap sebagai second sex, kesulitan dalam menduduki posisi strategis dengan anggapan bahwa perempuan akan melahirkan dan mengurus rumah tangga.

Dewasa ini perempuan lebih memiliki keterlibatan di ranah publik meskipun, belum sepenuhnya semua perempuan mampu melakukan hal tersebut. Istilah rasan-rasan dalam budaya jawa yaitu mengandung pengertian pembicaraan orang-orang  kepada orang lain mengenai hal yang berkonotasi negatif. Perempuan yang lebih sering di luar akan mendapatkan rasan-rasan  dari tetangganya, sehingga biasanya keluarga akan menekan keaktifan anak gadisnya dalam beraktifitas. Atau sering ditemui dalam kehidupan kita pertanyaan mengenai setelah menikah apakah akan bekerja? Kalau bekerja anaknya siapa yang akan mengurus? Perempuan bagusnya dirumah saja!. Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali di lontarkan kepada kaum perempuan.

Dalam kehidupan berorganisasi perempuan pun kebanyakan hanya diberi jabatan sebagai sekretaris ataupun bendahara, jarang sekali menepati posisi strategis seperti, ketua pelaksana ataupun ketua umum. Bukan berarti perempuan tidak mampu melakukan itu, meskipun dalam undang-undang kepartaian mewajibkan keterlibatan perempuan sebesar 30% sampai saat ini kuota tersebut masih banyak partai yang tidak penuh 30%. Bahkan tidak sedikit yang melibatkan perempuan dalam ranah publik atau politik hanya sebagai pemanis saja.

Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan pemahaman kepada perempuan dan laki-laki bahwa gender tidak berpengaruh terhadap kinerja dan keterlibatan peran dalam ranah publik. Dengan memberikan argumen-argumen ilmiah dari berbagai penulis seperti yang telah di katakan oleh  (Alwi 2019) bahwa Indonesia negara yang fleksibel  terhadap perempuan untuk terlibat di ruang publik dibandingkan dengan negara-negara Islam lain terutama di Timur Tengah. Namun mengapa tingkat kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia karena akan berpengaruh dan berdampak terhadap rasa percaya diri mereka, mampu menghambat peran perempuan dalam lingkungan sosial,  ekonomi dan budaya (Alhakim 2021).

Penting bagi seluruh masyarakat memahami tentang perempuan tidak sebatas ruang lingkup domestik. Perempuan sendiri perlu memahami esensi tersebut supaya mampu menempatkan diri mereka, sehingga mampu berkontribusi dan memberikan peran-perannya dalam ranah publik. Ketidak pahaman perempuan mengenai dirinya tentu akan mengkerdilkan  pemikiran mereka dan terkungkung didalam zona merah kebodohan sehingga menutup diri mereka untuk berperan aktif dalam ranah publik.

Perempuan dan Kepemimpinan

Kepemimpinan selalu identik dengan laki-laki, (Arsal and Imran 2020) dalam tulisannya menejelaskan, menurut Al-Qur’an pemimpin merupakan fitrah yang harus dijalani bagi dirinya maupun untuk orang lain. Pada jaman jahiliyah islam datang memberikan kehormatan kepada kaum perempuan pada saat itu, perempuan sebelumnya di anggap sebagai wanita penghibur, serta hanya untuk permainan dan banyak pelecehan-pelecahan yang terjadi kepada perempuan. Islam datang untuk membela dan menjunjung harkat serta martabat perempuan menurut Raghib As- Sirjani dalam (Alwi 2019) Islam mengangkat derajat perempuan dari kehidupan yang pernah menghimpitnya dalam kesuraman  untuk menjadi figur sosial.

Perempuan di tempatkan sebagai subordinasi kaum pria sesungguhnya muncul  dan lahir karena sebuah peradaban yang di kuasi pria. Sehingga perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan pikirannya. Bukan berarti perempuan tidak mampu memimpin (Ibrahim 2018) menjelaskan banyak sejarah yang mencatat bahwa dibawah kepemimpinan perempuan mampu menciptakan negeri yang adil makmur, negeri yang diberi gelar oleh Al-Qur’an baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yaitu,  Ratu Balqis penguasa negeri  Saba’.  Di Indonesia sendiri Neng darah Afifah mencatat dalam (Alwi 2019) terdapat banyak perempuan yang berperan aktif di ranah Publik seperti Ratu Tajul Alam Shafiyatuddin syah, Ratu Nur Alam Naqiyatuddin Syah, Ratu Inayatsyah Zakiyatuddin Syah, dan Ratu Kamalat Syah, semuanya pernah memimpin di Aceh.  Di sumatera terdapat Rasuna Said, Rahmah el-Yunussiah. Dan pada masa kepemerintahan  Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019) terdapat delapan posisi yang di tempati oleh kaum perempuan. Ini menjadi bukti bahwa perempuan dalam ranah Publik mampu berperan dan memberikan perubahan dalam sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Meskipun perempuan memiliki peran ganda namun, dalam memaknai peran perempuan dalam ranah domestik dan publik memiliki kerancuan.(Wibowo 2011) berpendapat bahwa  wilayah domestik dan publik dipandang sebagai dua sisi yang berbeda, terpisah secara diamental. Jika kita memahami kedua garis titik yang berbeda itu, akan menarik pemahaman bahwa domestik dan publik ibaratkan antara rumah dan dunia.  Perempuan dan laki-laki tidak akan menemukan makna kehadirannya di dunia sebelum mereka menemui makna kehadirannya di rumah. Sudah bukan waktunya mempertanyakan bahwa perempuan dibesarkan untuk mengurus urusan domestik saja karena perempuan memiliki hak yang sama denga laki-laki dalam urusan duniawi. (Hamka 2016) mengatakan hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pada umumnya lebih tekun, ekonomis dan hemat sehingga mereka dapat dipercaya untuk menduduki posisi penting tertentu. Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga dapat bekerja secara multitalen yaitu megerjakan banyak hal dalam satu waktu.

Sedangkan menurut (Wahid 2012) yang menyoroti perempuan berdasarkan perspektif Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah terdapat satu kitab yang dinamai Adabul Mar’ah fiil Islam. Risalah ini dihasilkan dari Muktamar Tarjih ke-18 yang di langsungkan di garut pada bab “ wanita Islam dalam bidang politik” membuka pembahasannya dengan surat at-Taubah ayat 71. Ayat tersebut dimaknai sebagai ayat yang mendorong setiap Muslim dan Muslimah untuk berkiprah secara intensif dalam kegiatan  amar bil ma’ruf dan  nahi ‘anil-munkar yang mencakupi berbagai bidang kehidupan. Sehingga perempuan diperbolehkan berperan aktif dalam ranah publik selagi berkonteks kepada amar ma’ruf nahi munkar. Perempuan juga memiliki peranan yang sama dalam memberikan kebaikan, baik secara sumbangsi pemikiran ataupun tindakan. Tidak ada hal yang membedakan  perempuan dan laki-laki dalam memiliki porsi  berfikir, bertindak dan berperan aktif di ranah Publik. Karena dalam hal ini perempuan memiliki peluang mampu bersaing dengan laki-laki.

Sebagai organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menyoroti peranan perempuan yang  akrab disebut immawati, sudah menjadi kewajiban untuk berperan aktif dalam ranah publik, dengan langkah awal berani mengambil posisi-posisi strategis dalam jabatan struktural maupun jabatan kegiatan. Tentunya peran laki-lakinya yang disapa immawan turut menjadi roda penggerak atupun supporting memberikan peluang dan kesempatan kepada immawati untuk mengemban jabatan-jabatan strategis tersebut. Mengapa ini menjadi penting ?, karena ketika immawan menutup peluang ataupun akses kepada immawati dalam berperan aktif maka immawati akan sulit untuk menarik dirinya keranah publik. Immawati dengan segala stigma yang mengungkung dirinya untuk tidak berperan di ranah publik tentunya memberikan dampak psikis sehingga jika tidak diberikan peluang akan sulit baginya lepas dari persoalan tersebut.

Kesimpulannya, perempuan memang second sex dan juga dianggap memiliki peran ganda. Namun, melihat perempuan tidak hanya dengan satu persepsi, bahwa perempuan memiliki kesempatan dan posisi yang sama dengna laki-laki dalam hal peran amar ma'ruf nahi munkar. Justru peran tersebut akan menjadi sempurna ketika didukung oleh semua masyarakat dengan tidak melakukan rasan-rasan karena itu merupakan bentuk kekerasan secara verbal yang memberikan dampak ketidakpercayaan diri yang mengakibatkan kesulitannya bagi kaum perempuan dalam terlibat aktif di ranah publik. Peran-peran perempuan memberikan dampak positif bagi politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Oleh: Jeni Rahmawati (Sekretaris Umum PWNA Lampung)

Gambar: 

Editor: Nadiya

Referensi:

Alhakim, Abdurrakhman. 2021. “KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN: SUATU KAJIAN PERLINDUNGAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9(1):115–22.

Alwi, Muhammad. 2019. “Intrepretasi Kontekstual Ahmad Syafi’i Ma’arif Atas Peran Perempuan Di Ruang Publik Dalam QS. An-Nisa: 34.” Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam 18(2):105–17.

Arsal, Busyro, and Maizul Imran. 2020. “Kepemimpinan Perempuan: Penerapan Metode Tafsir Hermeneutika Feminisme Amina Wadud.” AL Quds Jurnal Studi Alquran Dan Hadis 4(2).

Hamka, Husain. 2016. “Kepemimpinan Perempuan Dalam Era Modern.” Al-Qalam 19(1):107–16.

Ibrahim, Sulaiman. 2018. “Kepemimpinan Perempuan Di Ruang Publik Dalam Tafsir Al-Kasysyâf.” Al-Ulum 18(2):459–80.

Wahid, Wawan Gunawan Abdul. 2012. “‘Membaca’ Kepemimpinan Perempuan Dalam RUU Kesetaraan Dan Keadilan Gender Dengan Perspektif Muhammadiyah.” Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam 11(2):229–46.

Wibowo, Dwi Edi. 2011. “Peran Ganda Perempuan Dan Kesetaraan Gender.” Jurnal Muwazah 3(1):356–64.

Komentar