Langsung ke konten utama

INKLUSIFITAS PEREMPUAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN KEBERAGAMAN

Keberagaman yang ada di Indonesia, mendorong masyarakatnya untuk berprilaku inklusif. Perilaku inklusif yang perlu dimiliki oleh masyarakat ini juga tak terkecuali perlu dilakukan oleh perempuan. Di tengah keberagaman dan perbedaan, perempuan memang harus menjunjung asas keterbukaan, kolaboratif dan saling bersinergi dengan siapapun tanpa membedakan ras dan agama. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa perempuan, terutama perempuan Islam adalah perempuan inklusif yang ramah. Secara sederhana, inklusif dapat diartikan sebagai penempatan diri ke dalam cara pandang orang lain atau kelompok lain dalam melihat dunia. Singkatnya, inklusif berarti memiliki keterbukaan terhadap wacana maupun pandangan orang lain.


Siti Noorjannah Djohantini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah pernah menyampaikan bahwa sebagai perempuan tentu harus penuh dengan rasa dan perilaku yang terbuka atau secara inklusif. Tapi kunci untuk menjadi perempuan berkemajuan adalah dengan bersikap terbuka dengan prinsip yang ia pegang berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan pandangan Muhammadiyah.


Amanah yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah tersebut mengisyaratkan kepada perempuan bahwa ditengah keberagaman, perbedaan adalah rahmat dari Sang Pencipta. Perbedaan bisa menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa, akan tetapi dengan perbedaan juga bisa menjadi bahaya apabila kita hanya melihat perbedaan hanya sebagai sebuah perbedaan semata yang tidak memiliki hikmah dibaliknya.


Untuk menciptakan keterbukaan pada perempuan, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Kader Nasyiyatul Aisyiyah (NA) dalam mengambil peran menciptakan lingkungan dan perempuan yang inklusif. Peran yang bisa dilakukan oleh perempuan di NA antara lain adalah: Pertama, kader NA di semua tingkat kepemimpinan perlu memahamkan diri terhadap sikap inklusifitas. Hal ini sebagai bentuk mendidik diri sendiri agar memiliki jiwa dan sikap terbuka terhadap segala perbedaan yang ada disekelilingnya. Kader NA perlu mendorong dirinya sendiri untuk memahami konsep inklusif. Sesuatu yang penting dilakukan oleh kader NA adalah tidak hanya berkutat pada lingkungan dan pemikiran di internal atau sekitarnya, tetapi perlu membuka diri pada semua kelompok dan memperbanyak diri untuk menyelami segala perbedaan di luar.


Kedua, untuk banyak menyelami pemikiran dan perbedaan yang ada, maka kader Nasyiayatul Aisyiyah perlu banyak-banyak berinteraksi dengan organisasi maupun kelompok lain. Banyak-banyak keluar untuk belajar dan banyak mengikuti segala pelatihan yang tidak hanya diadakan oleh internal sendiri. Jika kebanyakan kader NA adalah ibu-ibu muda yang sudah terbatasi aktivitas diluar, maka hal ini bisa dibarengi dengan kegiatan online yang bisa memberikan dan menambah referensi.


Ketiga, mengadakan agenda-agenda yang sifatnya mendorong para perempuan Nasyiayatul Aisyiyah untuk ikut andil mengambil bagian dalam menjadi agen perubahan untuk memasifkan nilai-nilai inklusifitas. Poin ini bisa diakomodir dalam bentuk program kerja yang memang dihadirkan dalam rangka edukasi atau sosialisasi agar para perempuan mampu menginternalisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai inklusif di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja, lebih luas lagi bisa mengedukasi di lingkungan masyarakatnya.


Sebagai gerakan berkemajuan, Nasyiyatul Aisyiyah salah satu Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah perlu membekali dan mengorientasikan gerakannya pada nilai-nilai inklusifitas. Hal ini menjadi penting dikarenakan agar kader NA tidak terbelenggu hanya pada pemikiran internal, selain itu sikap inklusif akan mengantarkan kader NA menjadi perempuan yang mampu menghargai perbedaan, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memiliki sifat moderat akan segala sesuatu. Sikap inklusif juga memudahkan kita untuk mudah bersosialisasi dan berinteraksi dengan semua orang, sehingga hal ini akan lebih mengembangkan kecakapan berkomunikasi dengan produktif guna mempersiapkan diri yang lebih baik.


Sikap inklusifitas juga penting dimiliki oleh setiap perempuan agar partisipasi peran perempuan di ranah publik semakin terbuka lebar. Jika kader NA memiliki sikap terbuka dan inklusif kepada perbedaan, maka hal ini juga akan memungkinkan kader NA untuk diterima di mana saja sehingga memudahkan kader-kadernya bisa berkontribusi dan berdikari di ranah publik. Urgensi sikap inklusif yang harus dimiliki oleh perempuan ini yang kemudian menjadi dorongan untuk memasifkan gerakan inklusif melalui edukasi, sosialisasi atau program-program di NA. Selain itu, kader NA juga bisa menggunakan media sosial sebagai wadah untuk mengajak banyak masyarakat paham terhadap nilai-nilai inklusifitas. Di tengah perubahan zaman yang mana media sosial sudah menjadi teman bagi semua kalangan masyarakat, maka gerakan NA juga perlu memanfaatkan perubahan tersebut sebagai sebuah peluang dakwah.


Sejatinya, sikap inklusifitas adalah sebuah sikap yang perlu dimulai dari diri sendiri. Kita harus memahami bahwa perempuan harus mengimplementasikan nilai-nilai inklusif tersebut agar kita bisa menjadi perempuan yang mudah beradaptasi, tidak ‘gampang’ menjudge segala perbedaan yang ada, dan tidak mudah menghakimi keragaman yang kita hadapi.

Oleh: Renci

Editor: Nadiya

Gambar: Freepik

Komentar