Langsung ke konten utama

DIALOG MASA LALU: INTERPRETASI MODERN DARI SURAT R.A KARTINI

 


Berbicara terkait interpretasi modern menurut Bakhtin setiap teks yang ada merupakan bagian dari jaringan dialog yang lebih luas. Karena bacaan yang sering kita baca bisa menghasilkan analisa yang berbeda dari tiap pembacanya. Untuk memahami sebuah teks, kita perlu melihat bagaimana ia berbicara dengan teks-teks lain baik dengan melihat kondisi masa kini. Sedangkan menurut Barthes, dalam konteks modern, ini berarti interpretasi menjadi sebuah proses yang dinamis dan subjektif, di mana pembaca memiliki peran aktif dalam membentuk makna (Holquist, 2003; Barthes, 2016).

Sejak kecil kita telah dikenalkan dengan Kisah R.A Kartini, terutama bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun, sebagian dari kita masih ada yang belum mengerti isi dari buku yang di tulis oleh Kartini. Jika ditelisik lebih mendalam, buku ini merupakan himpunan dan surat-surat yang ditulis oleh Kartini selama hidupnya. Berisikan ungkapan dari pemikiran perempuan jawa tentang pendidikan, dan emansipasi perempuan yang sampai hari ini masih menjadi perbincangan hangat dalam sistem gender perempuan modern (Pane, 1949).

Berikut adalah surat R.A Kartini  yang ditulis di Jepara pada tanggal 25 Mei 1899

Jepara, 25 Mei 1899

"Adakah yang lebih hina, lebih menyedihkan, daripada memandang bagaimana seorang anak manusia dirantai kakinya, dipasung tangannya, dipenjarakan rohnya dan pikirannya, tidak oleh orang asing, tetapi oleh bangsanya sendiri, oleh kerabatnya sendiri, oleh orang tuanya sendiri yang menjeratnya dengan belenggu yang tak terlihat, tetapi sekuat baja. Kami tak pernah percaya bahwa pengetahuan dan kepandaian itu hanya milik lelaki, kecerdasan pikiran hanya milik lelaki. Tidak, kami percaya, bahwa perempuan pun berhak mendapatkan pengetahuan dan kecerdasan, karena perempuan pun mempunyai kemampuan untuk itu."

Setelah saya membaca surat yang ditulis oleh Kartini tersebut, secara pribadi saya bisa merasakan apa yang ingin diungkapkan oleh Kartini. Tentang perasaannya pada saat itu harus patuh seolah-oleh perempuan hanya hidup dalam tiga ranah: dapur, sumur dan kasur. Sehingga banyak aspek dari segi pengembangan karakter, hard-skill dan soft-skill perempuan menjadi hal tabu pada saat itu. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan saat ini. Kesempatan yang  begitu luas bahkan diatur dan dijamin oleh UUD 1945. Namun tetap saja masih ada sebagian dari kita di masa ini terjebak dalam pola patriarki.

Surat yang ditulis oleh Raden Adjeng Kartini pada 25 Mei 1899, merupakan refleksi mendalam tentang kondisi sosial perempuan pada masanya. Berikut adalah telaah esensi dari surat tersebut.

Kebebasan dan Penindasan Internal

Secara harfiah kata "dirantai kakinya", memiliki gambaran bahwa kaki yang dirantai tidak akan mampu keluar dari zona yang sudah ditentukan, terjebak dalam ruang sempit dengan tempo waktu yang tidak bisa didefinisikan. Kartini menggunakan metafora yang kuat untuk menggambarkan penindasan yang dialami perempuan: "Dirantai kakinya, dipasung tangannya, dipenjarakan rohnya dan pikirannya." Metafora ini menekankan betapa ketatnya kontrol sosial dan budaya yang membatasi kebebasan fisik dan mental perempuan. Penindasan ini tidak dilakukan oleh pihak asing, melainkan oleh keluarga dan masyarakat sendiri. Ini menunjukkan adanya internalisasi patriarki yang kuat, di mana norma-norma dan tradisi lokal menjadi alat pengekang kebebasan perempuan.

Kritik terhadap Adat dan Tradisi

Pada kalimat “Belenggu yang tak terlihat tetapi sekuat baja”, menunjukkan  bahwa Kartini ingin mengkritik adat dan tradisi yang mengekang perempuan. Kritik ini menunjukkan kesadaran Kartini akan kekuatan tradisi dalam membentuk dan membatasi kehidupan perempuan. Tradisi tersebut bukan hanya berupa aturan tertulis, tetapi juga nilai-nilai dan norma-norma yang sudah mendarah daging dalam masyarakat, menjadikannya sulit untuk dilawan. Mungkin diantara kita pernah mendengar kalimat tabu, atau yang sering kita dengar “ojo, ora ilok” dari ibu atau nenek kita ketika kita akan memilih dan membuat keputusan sedangkan menurut beliau hal yang akan kita ambil masih tabu di masyarakat.

Pengetahuan dan Kesetaraan Gender

Ada salah satu kalimat yang menurut saya paling relevan dengan kondisi patriarki saat ini di bagian "perempuan pun berhak mendapatkan pengetahuan dan kecerdasan". Hal ini menjadi poin penting yang saya highlight karena ketika saya memutuskan untuk mengambil sekolah pascasarjana saya, ibu saya sering diteror tetangga dengan perkataan “ Kenapa harus kuliah tinggi-tinggi kalau ujungnya cuma tinggal di dapur”. Saya butuh waktu sekitar 6 bulan untuk meyakinkan orang tua saya bahwa warisan berharga bagi anak permpuan bukan hanya soal harta tetapi pendidikan yang baik. Dan Kartini melihat pendidikan sebagai kunci untuk mencapai emansipasi dan kemandirian perempuan, serta sebagai sarana untuk berkontribusi pada masyarakat secara lebih luas.

Penderitaan dan Pengkhianatan Sosial

Hal yang paling menyedihkan tersirat dalam kalimat-kalimat yang ditulis oleh Kartini adalah adanya fakta bahwa penindasan yang dialami perempuan menjadi hal yang  menyedihkan karena dilakukan oleh orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan kerabat sendiri. Hal ini menyoroti rasa pengkhianatan dan penderitaan yang mendalam ketika perempuan dirampas kebebasannya oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan mendukung mereka. Padahal menurut saya, dukungan dari orang terdekat terutama keluarga merupakan hal yang paling di inginkan dan diperlukan dalam terpenuhinya hak dan kewajiban perempuan secara seimbang.

Kesimpulannya, surat Kartini yang ditulis di Jepara pada 25 Mei 1899, menyampaikan pesan yang kuat tentang kebebasan, penindasan, dan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Dengan menggunakan metafora yang kuat dan kritik tajam terhadap adat dan tradisi, Kartini menunjukkan ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan dan menegaskan pentingnya pendidikan bagi perempuan bukan hanya sebagai alat untuk memperoleh penghidupan dan karir yang bagus tetapi bekal bahwa perempuan akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Surat ini bukan hanya menggambarkan kondisi sosial pada masanya, tetapi juga menjadi seruan untuk perubahan yang relevansinya masih terasa hingga hari ini. Kartini tidak hanya mengecam penindasan yang ada, tetapi juga memberikan visi tentang masa depan di mana perempuan memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi pada masyarakat. sekarang tinggal apakah kita mau mengambil peran dalam perubahan ini atau cukup diam menikmati menjadi bagian dari simpul patriarki

Oleh: Titin Sarwendah, M.Pd (Ketua Bidang Kader)

Editor: Nadiya

Gambar:  Freepik

--------------------

Referensi:

Arifah, N. K., & Novita, A. (2023). Pendidikan dan Nasionalisme: Analisis Pemikiran Raden Ajeng Kartini Sebagai Pahlawan Emansipasi Perempuan. Kariman: Jurnal Pendidikan Keislaman, 11(2), 314-323.

Barthes, R. (2016). The death of the author. In Readings in the Theory of Religion (pp. 141-145). Routledge.

Heny Hartono, S. S. (Ed.). (2020). Surat Kartini Masa Kini Catatan Para Ibu Multi Peran. SCU Knowledge Media.

Holquist, M. (2003). Dialogism: Bakhtin and his world. Routledge.

Marihandono, D., Khozin, N., Arbaningsih, D., & Tangkilisan, Y. B. (2016). Sisi Lain Kartini. Museum Kebangkitan Nasional

Muthoifin, M., Ali, M., & Wachidah, N. (2017). Pemikiran Raden Ajeng Kartini tentang pendidikan perempuan dan relevansinya terhadap pendidikan Islam. Profetika: Jurnal Studi Islam, 18(1), 36-47.

Pane, A. (1949). Habis gelap terbitlah terang. Balai Pustaka (Persero), PT..

Komentar