Langsung ke konten utama

SEMUA DIMULAI DARI LAYAR PONSEL

 

Pernahkah kamu berpikir, berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menggulir beranda media sosial? Atau berapa banyak kita membuka Whatsapp untuk membalas pesan-pesan dari kerabat atau teman? Di zaman yang serba daring, hampir semua waktu manusia dihabiskan dalam ruang-ruang maya. Saat ini, belanja barang dan membeli makan saja bisa lewat ponsel, hanya membuka aplikasi dan pencet tombol sana-sini. Namun tanpa kita sadari, beriringnya hidup dengan ponsel berdampak pada kebiasaan kita, yang secara tidak sadar juga mempengaruhi pemahaman kita, bahkan menjadi pola pikir kita.

Pernahkah kamu sadar, kita seringkali mengecek ponsel, padahal belum tentu ada yang penting di dalamnya. Hanya mengecek notifikasi, melihat foto-foto lama, menggulir dan menggeser layar saja. Menurut data terbaru dari We are Sosial di Tahun 2024, rata-rata penggunaan sosial media orang Indonesia mencapai lebih dari 3 jam perhari. Parahnya, data State of Mobile Tahun 2024, orang Indonesia menggunakan ponsel lebih dari 6 jam perhari ini termasuk 'bocil epep' dan cewek yang sleepcall ayang tiap malam. Tak heran, Indonesia menempati peringkat pertama dengan orang kecanduan ponsel di dunia.

Ponsel menjadi 'pegangan' di kala kesepian, bahkan tak jarang seorang bisa kelabakan tak tertolong jika lupa membawa ponsel saat berpergian. Ini terjadi bukan tanpa sebab, namun karena terlampau sering memegang ponsel, sehingga ada pola kebiasaan yang terbentuk terus-menerus, dan sangat sulit untuk dikurangi.

Kebanyakan orang Indonesia tidak memiliki hobi di luar ponselnya, tak heran banyak anak Indonesia yang bercita-cita menjadi konten kreator, atau selebriti TikTok sedari kecil. Selain itu, pengawasan orangtua terhadap penggunaan ponsel juga berperan dalam pembentukkan kebiasaan ini, sebagian besar orangtua memberikan ponsel kepada anak agar tidak menganggu, bisa diam, dan tidak berisik. Efek jangka panjangnya, anak akhirnya tidak bisa lepas dari keberadaan ponsel itu sendiri.

Penggunaan sosial media punya sejagat informasi sembarang, luas, dan tak terhingga. Tak heran, beberapa waktu yang lalu, munculnya penyakit psikologis yang terjangkit karena disebabkan media sosial. Penyakit media sosial di antaranya; (1) Fomo (Fear of Missing out) ketakutan atau kecemasan untuk tidak mengikuti trend yang ada di media; dan (2) BPD (Borderline Personality Disorder) gangguan psikologis dimana seorang pengguna akan merasa iri terhadap pengguna yang lain.

Selain gangguan psikologis, pengguna media sosial juga secara tidak sadar terlena dengan waktu yang dihabiskan. Mungkin sebagian orang pernah tidak menyangka bisa berjam-jam hanya untuk menonton reels instagram atau video tiktok yang muncul dalam page tiada habisnya. Dimana adanya efek algoritma sosial media yang menjangkitnya. Sistem algoritma adalah sistem yang menganalisis ketertarikan pengguna untuk ditampilkan dalam mesin pencarian sosial medianya. Sistem ini sengaja dibuat dan tidak disadari, bahkan algoritma ini dibuat terhubung dengan semua sosial media sehingga terbentuk relevansi konten.

Mungkin kamu tidak percaya, jika pernah mencari konten skincare di Google, maka sosial media seperti Instagram, Tiktok, atau Facebook akan merekam aktivitas ini, dan akan menampilkan iklan atau postingan skincare. Hal itu memberikan efek yang membuat kita tertarik dengan hal yang lain saat menggulir linimasa. Efek dari kerja algoritma ini algoritma membentuk rasa penasaran terus-menerus, tanpa sadar meninabobokan pengguna. 

Jika dilihat sekilas, algoritma ini terlihat sederhana bagi pengguna, tetapi sebenarnya memiliki dampak begitu besar, bahkan mengancam keberlangsungan negara. Seperti yang dilakukan dalam sidang Kongres Senator Amerika Serikat, yang mendatangkan banyak CEO perusahaan sosial media, termasuk mengundang CEO TikTok asal Singapura, Shou Zi Chew. Beliau dicecar habis-habisan terkait agenda TikTok yang memberikan efek negatif bagi anak-anak Amerika Serikat. Amerika Serikat menyangka, kemunculan TikTok adalah ancaman bagi anak-anak dan termasuk dalam agenda Cina melakukan agenda perang sosial media.

Kepedulian pemerintah dalam mengatur dan menyediakan pengguna sosial media berperan disini, bagaimana Amerika Serikat mengawasi pengunaan internet setiap warga negaranya. Bagaimana dengan Indonesia? Sampai saat ini masih perlu banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyaring konten yang berseliweran bebas. Di sisi lain, adanya kesadaran yang perlu ditumbuhkan oleh masing-masing pengguna, termasuk perempuan yang juga memiliki banyak pengguna.

Penggunaan ponsel dianalogikan seperti makanan, mengonsumsi ponsel dengan baik dan secukupnya, tidak berlebihan. Jika dikonsumsi dengan berlebihan maka akan mendatangkan dampak yang tidak baik. Media sosial layaknya sebuah pisau, jika digunakan untuk hal-hal yang baik maka mendatangkan kebaikan pula, sebaliknya jika media sosial digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, maka tidak baik pula.

Oleh: Intifada Permata Palestina

Editor: Nadiya 

Gambar: Freepik

Komentar