Langsung ke konten utama

YANG DISEMBUNYIKAN OLEH ANAK PINTAR

 
Beberapa pekan terakhir, timeline aplikasi X saya ramai dengan munculnya tweet tentang deretan mahasiswa yang diproyeksikan mengikuti program Clash of Champions. Program ini diadaptasi dari program TV asal Korea Selatan yang pernah booming di Indonesia, yaitu University War. Bagaimana tidak booming, Clash of Champions adalah program yang mempertemukan banyak mahasiswa dari berbagai universitas untuk tanding kompetisi satu sama lain dalam uji kecerdasan dan ketangkasan.
 
Booming-nya tweet itu dikarenakan banyak netizen memuji dan bangga pada keseluruhan kandidat mahasiswa yang bakal menjadi kontestan di acara tersebut. Tidak sedikit pula netizen yang mengungkapkan ciut, iri, atau merasa jadi manusia bodoh. Bisa dikatakan, seluruh kontestan adalah mahasiswa cerdas, pintar di atas rata-rata, dan tidak berperi-kemahasiswa-an. Ada yang bertanya-tanya bagaimana bisa seorang mahasiswa Teknik Sipil ITB mendapat IPK 4.0, nilai sempurna! Hampir sangat jarang ada mahasiswa di jurusan teknik sipil mendapat nilai sempurna. Atau bagaimana Mahasiswa kedokteran UI yang jadwal praktikumnya sepadat itu bisa menerbitkan 13 artikel terindeks Scopus selama kuliah? Bahkan ada yang bertanya, semua kontestan diberi makan apa saja oleh orangtuanya bisa sepintar itu?
 
Sekilas melihat deretan anak pintar di atas rata-rata terlalu menyilaukan mata, sulit digapai, dan terlalu utopis dilakukan kebanyakan orang. Sebelum itu, definisi pintar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mahir, cakap, pandai serta memiliki kemampuan untuk mencari solusi dalam suatu masalah. Dalam lingkup sekolah, definisi pintar kadang lebih dipersempit lagi, kebanyakan orang mendefinisikan pintar adalah seorang yang memiliki memampuan eksakta yang baik, cekatan. Bahkan tak jarang 'pintar' diberi ciri-ciri seperti, sering peringkat di kelas, pandai menghitung, sering juara lomba, berprestasi, dan sebagainya. Padahal tahun 1983, seorang psikolog, Harvard Howard Gardner membagi ada delapan jenis kecerdasan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa setiap manusia terlahir dengan kondisi dan keahlian yang berbeda-beda.
 
Terlepas dari itu, ada beberapa hal yang tidak pernah diketahui atau tidak disadari banyak orang, bahwa ada ribuan faktor dari pembentukkan anak hingga dianggap pintar oleh lingkungannya, di antaranya: proses belajar, motivasi belajar, sistem yang teratur, peran orang tua yang besar, serta lingkungan yang mendukung.
 
Ada dua faktor yang juga berperan dalam perkembangan dan proses belajar adalah: motivasi dan keuntungan. Dua faktor ini selalu berjalan beriringan.
 
Motivasi menjadi semacam bahan bakar yang mendorong seseorang mencapai tujuan tertentu. Motivasi ini yang selanjutnya membentuk habitus serta strategi belajar anak. Anak pintar kadang tidak pernah memberi tahu 'strategi' mereka belajar kepada teman sesamanya atau bahkan anak pintar tidak menyadari sudah tahu cara dan teknik belajar. Dalam psikologi pendidikan, diajarkan bagaimana seorang pembelajar harus mengetahui lebih dahulu 'gaya belajar' dan titik nyaman sebelum 'belajar sesuatu'. Hal ini mempengaruhi kemampuan anak dalam menangkap dan memahami sesuatu.
 
Motivasi juga dipengaruhi oleh atmosfer lingkungan anak dan peran orangtua dalam membimbing. Bagian yang menyedihkan adalah kadang orangtua tidak tahu perannya untuk membantu anak dalam belajar. Data KPAI tahun 2018, hanya sebanyak 23% orangtua yang memahami ilmu parenting. Sebagian orangtua, banyak yang tak acuh terhadap anak, akhirnya anak menjadi tidak terarah dalam proses belajar.
 
Faktor kedua yang ikut mendukung adalah keberuntungan. Keberuntungan menjadi suatu ladang yang dimiliki seorang anak untuk mendukung proses belajarnya. Belakangan ini faktor keberuntungan disebut dengan istilah "privilege". Keberuntungan meliputi sarana belajar, lingkungan belajar, serta tingkat ekonomi orangtua. Penelitian yang dilakukan Lilis Nur Chotimah, dkk tahun 2017 menunjukkan bahwa ada pengaruh signifikan dari ekonomi orangtua setinggi 77,3% dalam mencapai keberhasilan prestasi anak. Hal ini meliputi pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan.
 
Melihat para kontestan mahasiswa, bisa dikatakan mereka memiliki motivasi dan keberuntungan, daripada anak yang hanya mengandalkan motivasi dalam belajar. Istilahnya, 'anak pintar' tidak perlu risau memikirkan uang kuliah, tempat kursus, atau sarana belajarnya.
 
Saya teringat satu kalimat yang diucapkan teman sebelum ia berangkat ke luar negeri, "Semua orang bisa belajar keluar negeri, tapi syaratnya hanya dua: dia harus pinter banget atau dia harus kaya banget, tapi lebih bagus dia punya keduanya."
 
Hal-hal seperti sarana belajar, atmosfer belajar, dan dukungan lainnya seolah seperti tersembunyi di balik buku-buku belajar anak pintar. Semakin tinggi 'keberuntungan' anak pintar, semakin tinggi peluang untuknya mencicipi banyak beragam proses belajar.
 
Memang keberhasilan proses belajar seorang individu bergantung pada dirinya sendiri, tetapi lebih banyak mana yang berhasil belajar dengan dukungan oleh kedua faktor tersebut?
 
Oleh: Intifada Permata Palestina
Editor: Nadiya
Gambar: koleksi pribadi

Komentar